Telah banyak dilakukan penelitian tentang industri gula di
dunia, baik oleh lembaga-lembaga internasional, regional, maupun organisasi
perdagangan dan perbankan. Berbagai kesimpulan telah diperoleh berdasarkan
banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran, yang
artinya berpengaruh pula pada harga pasar.
Pada umumnya didapat kesimpulan akhir yang sama, bahwa dalam
jangka panjang akan terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran
komoditi ini. Sudah sejak lama diketahui bahwa mulai awal tahun 1980 akan
terjadi kekurangan gula yang kritis, dengan akibat meningkatnya harga.
Proyeksi gula dunia (metrik ton).
Tahun
|
Carry Over % Konsumsi
|
Produksi
|
Konsumsi
|
Keadaan Persediaan
|
1969
|
29,5
|
67.800.00
|
68.100.000
|
|
1970
|
25,5
|
72.900.000
|
72.100.000
|
800.000
|
1971
|
22,5
|
74.000.000
|
74.400.000
|
(400.000)
|
1972
|
20,5
|
75.700.000
|
76.000.000
|
(300.000)
|
1973
|
19,5
|
78.000.000
|
78.800.000
|
(800.000)
|
1974
|
20
|
78.900.000
|
79.000.000
|
(100.000)
|
1975
|
26
|
81.600.000
|
77.300.000
|
4.300.000
|
1976
|
29
|
82.700.000
|
80.000.000
|
2.700.000
|
1977
|
31
|
87.000.000
|
84.000.000
|
3.000.000
|
1978
|
33,5
|
89.500.000
|
86.500.000
|
3.000.000
|
1979
|
36
|
91.000.000
|
89.000.000
|
2.000.000
|
1980
|
35,5
|
92.000.000
|
91.500.000
|
500.000
|
1981
|
33,5
|
93.000.000
|
94.000.000
|
(1.000.000)
|
1982
|
29
|
94.000.000
|
97.000.000
|
(3.000.000)
|
1983
|
23,5
|
95.000.000
|
100.000.000
|
(5.000.000)
|
1984
|
21,5
|
97.000.000
|
99.000.000
|
(2.000.000)
|
1985
|
24
|
100.000.000
|
98.000.000
|
2.000.000
|
1986
|
|
104.000.000
|
100.000.000
|
4.000.000
|
Proyeksi gula Indonesia ( dalam ton)
Tahun
|
Produksi
|
Konsumsi
|
Impor
|
1975
|
1.000.000
|
1.387.000
|
65.762
|
1976
|
1.380.000
|
1.285.000
|
175.000
|
1977
|
1.104.852
|
1.452.600
|
344.653
|
1978
|
1.125.783
|
1.557.400
|
470.282
|
1979
|
1.200.000
|
1.650.000
|
457.550
|
1980
|
1.215.000
|
1.700.000
|
500.000
|
1981
|
1.300.000
|
1.900.000
|
600.000
|
Di dalam mencukupi kebutuhan gula di Indonesia, pemerintah
telah melakukan usaha-usaha:
- Memperluas dan mengintensifikasikan areal tanaman tebu, baik yang diusahakan oleh perusahaan negara perkebunan ataupun oleh rakyat;
- Merehabilitasi serta memperbesar kapasitas giling pabrik-pabrik gula yang ada;
- Mendirikan pabrik-pabrik gula baru di Jawa dan luar Jawa;
- Mendirikan pabrik-pabrik gula mini di daerah-daerah di luar Jawa.
Walaupun demikian karena terbatasnya areal yang sesuai
dengan tanaman tebu serta besarnya modal yang ditanam untuk mendirikan maupun
merehabilitasi pabrik-pabrik gula, maka diperkirakan sampai beberapa dasa warsa
mendatang Indonesia masih akan tetap menghadapi kekurangan gula yang sangat
besar. Seperti terlihat di data di atas, impor gula tahun 1980 mencapai 500.000
ton, dengan besar subsidi mencapai Rp70/Kg. Oleh karena itu, pemerintah juga
sangat berkepentingan untuk mendirikan pabrik-pabrik gula nontebu lainnya, baik
dari bahan baku pati ataupun dari bahan baku nira sedapan pohon lontar, enau,
dan lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, tingkat harga gula umumnya
dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian perdagangan, kebijaksanaan pemerintah,
iklim, dan sejumlah faktor ekonomi yang memegang peranan besar. Harga gula yang
tinggi pada tahun 1974/1975 di negara-negara maju mengakibatkan meningkatnya
penggunaan bahan-bahan pemanis lainnya yang bukan gukrosa, terutama high
fructose syrup (HFS). Bahan ini diperkenalkan pertama kali dalam industri
minuman, pengalengan, permen, dan roti sejak pertengahan 1973, dan berkembang
dengan pesat karena tingginya harga gula pada tahun 1974 tersebut.
Perkembangan ini diharapkan dapat berlangsung terus karena
kenaikkan konsumsi gula yang cukup tinggi di negara-negara berkembang,
sehubungan dengan meningkatnya kemakmuran mereka, disamping semakin sempitnya
areal yang cocok untuk tanaman tebu dan bit gula. Seperti diketahui, kedua
jenis tanaman ini memerlukan kondisi iklim dan syarat-syarat kesuburan tanah
tertentu agar dapat tumbh dengan baik. Bahan pemanis sintetis seperti sakarin
(biang gula) dan natrium siklamat (bibit gula), tidak dapat mengganti gula
secara keseluruhan, karena kualitas kemanisannya yang cenderung menghasilkan
rasa yang kurang enak (off-flavours) pada pemakaian dengan konsentrasi tinggi,
serta tekanan osmosenya yang rendah sehingga dapat membatasi kemungkinan
penggunaannya dalam industri. Pada tahun-tahun terakhir ini pemakaian kedua
jenis bahan pemanis ini dibatasi oleh peraturan kesehatan di banyak negara,
termasuk di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar jika perlu menanyakan seputar Industri Ubi Kayu dan proses pengolahannya